Monday, November 19, 2007

Kelanjutan Perang ACEH Dengan BELANDA

Saya Kutip Dari Buku DE ACEH OORLOG (PERANG ACEH)
PAUL VAN'T VEER


Van Swieten telah menasehatkan pada pengganti�nya, Kolonel Pel, agar sementara waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan itu pun hampir�hampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan yang terancam.

Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874 tenaga-tenaga tempurnya di�bandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat, hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa dalam keadaan sakit atau luka.

Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda; terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa kilometer ke hilir keraton dekat Peuna�yong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.

Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka, jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak diterjakan: semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera dipindahkan

Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di lembah.Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu kecil. Ber�beda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka ber�diam di rumah-rumah tiang atau tanah-tanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan.

Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.

Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru.

Kini pun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim.

Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin per�lawanan; seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata.

Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari tempat pendaratan, Olehleh.

Mereka terdiri dari sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua paruh batalyon yang melaku�kan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua

bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kira-kira seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan 'bumiputra'. Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali.

Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih tergenang air dan pematang�-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan, menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik rasanya dengan menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh.

Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkas-tangkas-- dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya. Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat ber�buat lain selain mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya yang lebih tidak praktis.

Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonne-kolonne itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi.

Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui pematang.

Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-�sendiri dengan susah payah dan hilang dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul se�tengah tiga petang, dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurus�nya hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan mengitari sawah.

Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat men�dengar kolonne sungai meniup isyarat terompet Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-�masing menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat ke�mungkinan sampai ke situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke keraton.

Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri tidak lengkap dan dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan bahwa mereka berada dalam kesulit�an. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat maju daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan men�cari-cari tujuannya, beberapa kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya dengan melakukan pertempuran hebat.

Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah ke�hilangan sepuluh orang tewas dan lima orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang. Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta memancangkan bendera Belanda di pohon yang ter�tinggi dalam kampung itu, dia ingin minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.

Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat "Batalyon X kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan men�jauh dapat disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang kembali dari�pada terus.

Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang tinggal ini setengah mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu meriam kecil Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana.

Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya tidak dapat dipertahan�kan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam kebingungan dia mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-�pagi. Sesudah dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu.

Betul-betul panik mereka dan lari pon�tang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di dalam rawa.

Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai masjid Lueng Bata untuk ber�gabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengi�rimkan bala bantuan, karena kolonne sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan datang.

Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.

Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecah�kan semua rekor. Kekuatan pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk me�melihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.

Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang

ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukum�an tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang di�serap oleh Aceh.

Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian pangkatnya dinaikkan men�jadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah-pecah. Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonne-kolonne yang bertugas harus bertempur me�rintis jalan menuju benteng-benteng yang terkepung itu.

Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal dekat keraton pada peng�angkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada peristiwa-peristiwa demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi. Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan sia-sia.

Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi mereka beroperasi secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib Abdurrahman A1 Zahir.

Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semen�jak awal Perang Aceh tidak berhasil, terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1 zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan me�nyamar demikian, dia berlayar dengan sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-�suratnya beres, dan Habib tidak dikenali, walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak suiit orang mengenalnya.

Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya, dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.

Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari pihak ulama, ter�utama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya, sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang letaknya hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga di luar Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat berhak men�jadi syuhada.

Teungku di Tiro dan para ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatan-kenikmatan yang diberi�kan kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisan-tulisan suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada waktu tiba di akhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari di taman syurgawi dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai penyempurnaan nikmat.

Dengan semangat perang sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir, yang disokong sepenuhnya oleh apara ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan gerilyanya menyusup terus sampai dekat Kutaraja.

Pada pertengahan tahun l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur militer Aceh. Gerakan Pertamanya, ia melakulaan operasi militer dengan mengerahkan tiga ribu pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk menyerbu daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga puluh ribu orang penduduk di pantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan 1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan untuk pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat menjengkelkan, karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan yang berlangsung jauh dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan mereka untuk mengirimkan ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna menyerang Belanda.

Pendaratan pasukan militer yang besar itu --yang sama besarnya dengan seluruh pasukan penyerbuan Perang Aceh I-- tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah melakukan pertempuran seru dalam waktu singkat di wilayah pesisir, pemimpin Samalanga menandatangani Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang memuat pengakuan akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat merebut Batu Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan ke sana.

Batu Iliek merupakan pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie. Benteng ini dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin Samalanga tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalam�an yang demikian, tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan Ikrar Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der Heijden sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah mata�nya dalam pertempuran ini, sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal Mata Sebelah.

Operasi-operasi militer di Aceh Besar yang diiakukan oleh Jenderal K. van der Heijden lebih berhasil. Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir me�masuki mukim XXV. Di sini terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur Jenderal Van Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk membantu Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir.

Van Lansberge menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya antara lain: "Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu berat, sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada tara�nya. Hal ini pada mulanya telah begitu rupa meng�guncangkan prestise kita dan kepercayaan pada kekuat�an kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melaku�kan penghukuman, tetapi mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian Aceh Besar yang ber�musuhan sikapnya, sekiranya kita tidak ingin memper�taruhkan hasil yang telah kita peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan darah."

Van der Heijden tidak memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di lembah itu, yang tidak akan dapat mencegah suatu serangan di bagian yang paling ditakuti di situ. Dia membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua pasukan militer dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebas�kan Krueng Raba yang terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib Abdurrahman A1 Zahir di Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878. Pada bulan-bulan berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan Abdurrahman Al Zahir yang kecil-keci1 yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI.

Penyerbuan pasukan Belanda ke pusat. pertahanan pasukan Habib Abdurrahman al Zahir berhasil, di mana pada tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib Abdurrahman muncul di pos Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis meminta ampun dan minta berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu ternyata Habib Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan kapal Belanda dan menerima pensiun di sana.

Tuntutan itu tidak kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa penyerbuan Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada bulan Oktober 1878 menyusul per�setujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda. Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang pengikut naik kapal Belanda dan di sana menerima pensiun untuk seumur hidupnya dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya.

Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia menganjurkan kepada para pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi tidak mendapat tanggapan sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini telah berperang dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya dari bumi Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib Abdurrahman Al Zahir, pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan yang diberikan kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci.

Oleh karena itu, kesan terakhir di saat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain yang terbaik, kecuali 'pengkhianat'.

Jenderal Van der Heijden telah berhasil menakluk�kan Lembah Aceh Besar, sehingga pada bulan Januari 1880 kenaikan pangkatnya pun dipercegat menjadi Letnan Jenderal. Ini merupakan hadiah yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima sepucuk surat yang agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang memberitakan bahwa dia diberi kuasa oleh Raja "�bila van der Heijden akan berhenti kelak�" untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu "�ingin saya mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini arida merasa waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya dengan demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda�"

Sama sekali Van der Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan kehendaknya, bersama dengan residen Palembang, A. Pruys van der Hoeve, dia diangkat menjadi komisaris untuk penyusun�an kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan Lansberge ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pe�merintahannya. Secara militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik keadaan aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa. Ternyata, kedua kesimpulan itu salah perhitungan.

Gubernur Jenderal dapat mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan diangkat pada tahun 1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana perubahan pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpen�dapat bahwa lama lagi baru Aceh siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pe�merintahan karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten residen, dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan pangkat gubernur langsung di bawah Batavia karena keadaannya yang luar hiasa) haruslah seorang militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan bersenjata setempat. Usul ini ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia.

Maka pada tahun 1881 Pruys van der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur sipil pertama di Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia hanya sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan yang di�lakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama yang fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar.

Ketika Pruys van der Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada pejabat pemerintahan P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang menggembirakan tentang keadaan Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah melanjutkan suatu politik yang akan menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang Aceh untuk kepentingan Belanda. "�Para pemuka yang sah harus menduduki tempat yang men�jadi haknya�" daripada kita "�menolak mereka karena tidak sadar akan bahaya mereka�" Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran di negeri-negeri pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang.

Tetapi optimisme yang berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab serangan-serangan pasukan gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para hulubalang makin hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan pendahulunya dan meminta bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat dengan Kutaraja saja sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari Kutaraja ke Anenk Galong di perbatasan lembah, praktis tidak dapat di�gunakan lagi. Pos-pos polisi sedikit pun tidak ada gunanya.

Pemimpin-pemimpin pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari ulama Teungku di Tiro, yang tegar dan fanatik, serta di pihak lain seperti Teuku Umar, yang berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal s' Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan pengurangan biaya perang secata drastis.

Kekecewaan ini menjadi panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap Inggeris Nisero kandas di pantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai barat Aceh. Kapal itu berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya menuju Marseille. Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang Inggeris, dua orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia dan satu orang Amerika.

Daerah Teunom yang pada tahun 1882 pernah di�serang habis-habisan oleh Belanda dari laut, membuat perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua awak kapal Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan tekanan besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk membebaskan para sandera.

Laging Tobias berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan memerlukan pasukan militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada kemungkinan para sandera itu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi dapat diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri. Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura, yaitu sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang Belanda, dikirim ke Teunom untuk mengadakan kontak bersama.

Keputusan yang didukung oleh s'Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini mempunyai akibat-akibat diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi dengan sangat geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya mau berbicara dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi tiga ratus ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran bebas di pantai�nya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan mengalami jalan buntu.

Pada tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda me�mutuskan untuk bertindak keras kepada Teunom. Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari Kutaraja mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut. Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa para sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan uang tebusannya men�jadi empat ratus ribu ringgit.

Sesudah kegagalan ini, dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar seorang dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan perantara untuk ber�bicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi juga menge�nai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan jaminan-jaminan Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag. Kekhawatiran Den Haag benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26 April 1884, Menteri luar negeri Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada Den Haag, bahwa Inggris bersedia menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh.

Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini tidak di�jawab oleh Den Haag, karena secara diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini.

Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom.

Kegagalan yang ketiga kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom, mendorong Jen�deral Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda. Dengan kata-kata singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru menaikkan�nya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan antara Belanda dan Inggeris. "Me�nurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila panglima skuadron Inggris diminta membuka pe�rundingan atau mengajukan tuntutan. Maka; dia pun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan."

Usul Van Swieten diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris, sehingga pada tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan Maxwell dan Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang berarti, pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan sebanyak seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.

Setelah masalah kapal Nisero selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng, dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan bagian terbuka ke arah laut.

Rel trem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng ter�besar, sampai 60 orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah tembok�-tembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam.

Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos yang berada di luar Lini Konsen�trasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.

Sistem Lini Konsentarsi pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan Aceh sebagai suatu taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat untuk melanjutkan perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir. Teungku di Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh.

Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai.

Di samping itu sistem Lini Konsentrasi menimbul�kan kejenuhan bagi pasukan Belanda, keadaan terkurung dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi, apalagi sesudah bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh dalam lini ter�jadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah, pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda.

Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh banyaknya jumlah mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari penduduk bumi putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan, karena semua berita sependapat mengemuka�kan bahwa jumlahnya jauh lebih besar daripada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk gologgan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan.

Pada tahun 1896 pasukan Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala sagi Mukim XXII, di Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang mereka peroleh bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam surat itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau meninggalkan sedikit jenewer.

Dalam kelompok pelarian ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang ber�nama Carli dari batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri dengan pasukan Pang�lima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang dilakukan oleh pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon modern menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi kewalahan.

Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman kedudukan penguasa kolonial Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih mampu melakukan serangan sampai ke daerah-�daerah yang terdekat dengan Kutaraja. Untuk mengatasi serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang Jaksa pada pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama J.B. van Heutsz, untuk mem�bentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai polisi militer.

Pembentukan pertamna korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.

Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentera yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Beutsz lebih besar daripada kekuatan-�kekuatan sebelumnya.

Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek --bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong-- sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.

Pasukan marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Merekapun merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.

Ketika pada tahun 1912 pasukan marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan, setelah kedua brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar pasukan gerilya dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga, sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian.

Pada bulan Januari 1891, rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena kedua tokoh utama perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini, maka kekuatan pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi ter�pecah-pecah, sebab para penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya.

Dalam situasi seperti itu, Teuku Umar tampil men�jadi pemimpin Aceh dengan caranya sendiri, yang mem�bingungkan setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh yang dipimpin oleh para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan mengkhianati Belanda, menawarkan diri nntuk membantu Belanda guna membasmi pasukan gerilya yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial Belanda mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh Gubernur militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker Mordijk, Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk menumpas pasukan gerilya Aceh, terutama yang ber�operasi di sekitar Mukim VI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya Aceh. Hasilnya sangat besar. Pen�duduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para hulubalang penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada tanggal 30 Desember 1893, atas jasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi 'panglima perang besar' oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja. Sebutan geiar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan.

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan lengkap dengan senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer terhadap pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku Umar me�naklukkan daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Pang�lima Polim (muda).

Keberhasilan Teuku Umar dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, ia diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak 250 orang, yang seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal. Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu Belanda relatif agak aman dan serangan-�serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Namun demikian, kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari seorang penasehat Guber nur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman pedas yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya di Aceh yang diselenggarakaa pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Menurut Snouck dalam 'Laporan Politik Agama' yang disampaikannya kepada Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling mempengaruhi rakyat Aceh untuk me�nentang pemerintah kolonial Belanda.

Dari ketiga pihak ini, pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat adalah pihak yang bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang paling tidak kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak tumbuh kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda. Sebab menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk menentang kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh.

Pada awal tahun 1896 tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan Kolonel F.W. Bisschof van Heems kerck. Di markasnya yang berkedudukan di benteng Lam Baro dengan 150 orang anggota pasukan�nya, dirasakannya bahwa optimisme Jenderal Deijker�hoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan.

Sebab hampir setiap hari pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini Konsentrasi, seperti sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku Umar, senantiasa ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk Galong (bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh yang terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu pengawal-pengawal perbekalan tersebut.

Pada tanggal 7 Maret 1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T. Blokland. Bolehlah dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong dikerahkannya untuk berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada tembakan dari kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa puluh pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan Belanda yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini Konsentrasi, menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting. Ketika Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran ber�henti sebentar, ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan luka-luka, sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk ke markas mereka.

Peristiwa ini merupakan tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang selama ini dianggap telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera untuk menghukum Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar Teuku Umar mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu. Permintaan Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak sebelum peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para ulama mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya.

Dalam keadaan yang demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan tugas yang telah diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia meminta diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan ternyata tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan dipenuhi oleh sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah menerima 380 senapan kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir peluru, 500 kilo mesiu, 120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah dengan uang operasi sebanyak l8.000 ringgit Spanyol.

Setelah Teuku Umar menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk memulai operasi militer, sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita bahwa ia akan melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini terbukti tidak benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam konferensi Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja

Kehadirannya dalam konferensi gubernur itu, mem�buat pemerintah kolonial Belanda menjadi lega, tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu kejutan yang membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai "Panglima Perang Besar Teuku Johan Pahlawan", menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil pang�limanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.

Pada tauggal 30 Maret 1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus beristirahat sementara waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan dia menyarankan Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak.

Di Kutaraja terjadi panik setelah tersebar berita-�berita tentang pembelotan itu. Orang khawatir kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap meng�hadapinya. Serangan itu tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar.

Teuku Umar dengan pasukannya membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini Konsentrasi dengan markas besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya sendiri. Daerah ini sangat strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit. Hanya dalam beberapa hari saja di Aceh Besar keadaan�nya telah berubah menjadi daerah yang mencekam dan menakutkan.

Gubernur Jenderd Van der Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan Teuku Umar, secepat mungkin memberhentikan Deijkerhoff dan meng�gantikannya dengan Jenderal Vetter. Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke Kutaraja, diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan dipersiapkannya dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah besar perwira sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi militer besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira, pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja.

Jenderal Vetter tidak ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap pasukan Teuku Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8 April 1896 telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar.

Semua hubungan dengan sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah diputuskan, jalan-�jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord sependapat bahwa pos-pos di luar lini se�banyak enam belas buah harus dibebaskan dan kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pem�bebasan pos-pos ini berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik di seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda.

Kian lama pengosongan berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17 April 1896, pos Anenk Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan pasukan Teuku Umar dan gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat batalyon infanteri, delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak tiga kilometer di luar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang luka-Iuka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur dan berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh.

Pada tahun 1896 dan awal 1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan penghancuran total ter�hadap lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumi-hanguskan ialah tempat kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah baterai meriam khusus dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama enam belas hari enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lam pisang, pusat pertahanan Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke tangan pasukan Belanda dalam keadaan hancur total.

Atas perintah Jenderal Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledak�kan dan puing-puingnya dibakar hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah di luarnya dibakar menjadi abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan sepuluh kompi infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang narapidana kerja-paksa dan empat ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya seperti mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon ditebang, kuburan-kuburan digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada tanggal 3 Juni 1896 hanya akan mendapatkan tempat hangus besar di tanah gundul. Tidak pernah lembah di Aceh Besar ini timbul lagi.

Peristiwa pembelotan Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di negeri Belanda. Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku Umar, tampak dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih dari setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain ber�bunyi: "Teuku Umar mesti digantung. Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan isteri."

Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah kolonial Belanda telah menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira sepuluh ribu pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana kerja-paksa yang mati. Sedangkan di pihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan tiga puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus dimulai baru lagi.

Tindakan-tindakan biadab pasukan Belanda-kafir di lembah Sungai Aceh telah mengakibatkan kehancuran yang tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi penduduknya, sehingga puluhan tahun kemudian para pengunjung dari luar masih merasa heran mendapati kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawah�sawah yang tidak dikerjakan, pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki.

Tidak kurang dari sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan kampung halamannya sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan puluhan ribu yang lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah ketiga sagi, yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi salah satu wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang dideritanya.

Sampai kemana buasnya pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan perlawanan Aceh, secara tepat dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di beranda belakang rumah sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada sebuah stoples besar berisi alkohol, dan di dalamnya terapung kepala Teuku Nya Makam. Pemimpin gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda dalam keadaan sakit parah. Dia diletakkan di atas tandu dan bersama dengan.keluarganya dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters.

Perwira ini menyuruh melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia ditembak mati di tempat. Di hadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun dipancung. Kolonel Stem�foort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini sebagai tanda kenangan. Seorang saksi mata yang ter�sayat hatinya menulis: "Kebiadaban ini dan yang se�macamnya tidaklah membantu menaklukkan dan mengamankan Aceh, sebaliknya pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan musuh yang tidak kenal damai."

Lembah Aceh memang bisa saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang di luar Aceh besar tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada Gubernur Jenderal Van der Wijck agar melaku�kan penyerbuan yang besar ke pedir (Pidie), dengan

argumentasi bahwa orang yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah daerah Aceh seluruhnya. Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck sehingga ia memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon lewat laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun.

Di samping itu Van der Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan diperlengkapi satu baterai meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua minggu waktu yang diperlukan, sebagaimana yang direncana�kan oleh pasukan Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan untuk bertempur melawan pasukan gerilya Aceh.

Penyerbuan ke Pidie yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin oleh Van Heutsz dan didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan terbesar yang luar biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua kolonne yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukam. Dibawa 15 km rel kereta api kecil untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser lima puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng.

Tidak banyak terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan gerilya Aceh. Tetapi harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat menyingkirkan Panglima Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab tokoh-tokoh perlawanan yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai sama sekali. Berbulan-bulan waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa menghancurkan pasukan gerilya Aceh.

Akhirnya, pada tanggal 10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang dipergunakan oleh Teuku Umar sebagai markasnya, yang berada di sekitar Meulabohe. Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku Umar. Tetapi korban dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas. Tetapi isterinya, Cut Nya Dien, bersama-�sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan per�juangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman pantai barat, selama lebih dari enam tahun.

Pada tahun 1905, Cut Nya Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan lumpuh. Walau dalam keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada Belanda. Karena pengkhianat�an seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan Belanda mengetahui dan menyergap tempat per�sembunyian Cut Nya Dien. Dia ditangkap dan kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai dengan pasukan Belanda kafir

Setelah Teuku Umar tewas dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa mereka telah ber�hasil untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak daerah-daerah yang masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan Belanda belum mampu untuk menjejakkan kakinya di sana. Salah satu daerah itu adalah Samalanga, di mana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq.

Jenderal Heijden, yang dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh, karena matanya buta terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang tidak berhasil menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat takluk kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Batu Ilieq adalah sebuah desa, di mana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren yang dipimpin oleh para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didiri�kan benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang dihubungkan oleh terowongan-�terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini se�penuhnya dipertahankan oleh pasukan santri.

Pada tahun 1901 pasukan Belanda di bawah pim�pinan Van Heutsz menyerbu benteng Batu Ilieq dengan menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat. Peluru-peluru meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan ke mulut-mulut benteng Batu Ilieq ini secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat me�robohkan benteng dari pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun.

Oleh karena itu serangan harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui lapangan depan yang ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan karang yang digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan di benteng. Belum lagi disebut tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser yang begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-�ayat Al-Qur'an.

Penyerangan harus dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon menerobos ke dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa, sehingga pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh ke tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang berjanggut putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu, sehingga benteng itu ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang mati berjumlah lima orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang, sedangkan di pihak santri dan ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi syuhada, tak satu pun yang masih hidup.

Jatuhnya benteng Batu Ilieq, tidak berarti perlawan�an rakyat Aceh telah berhenti, sebab hampir setiap daerah baik di pantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah oleh pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para hulubalang terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang setiap bentuk kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah.

Operasi militer yang dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Aceh, walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi terdesak, maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6 Desember 1903 Panglima Polis menyerah pula.

Van Heutsz, setelah diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan Februari 1904, telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin pasukan marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya di tengah-tengah pe�gunungan Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas.

Daerah Gayo dan Alas dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan daerah terakhir dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam sejarah perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh.

Serangan pasukan Belanda ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873. Vaan Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah yang selama ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasa�an Belanda benar-benar merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya.

Pada tanggal 8 Februari 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen berangkat dari Kutaraja menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade bersenjata lengkap, dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini merupakan pasukan 'induk' karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh Kapten Creutsz Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari arah timur dari Kuala Simpang.

Dengan demikian maka jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk menyerbu Gayo dan Alas tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata lengkap, ditambah dengan kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerja-paksa dan tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan.

Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, di�sambut dengan pertempuran sengit yang pertama, di mana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda ter�jadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut� pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.

Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang per�lindungan, lubang pengintaian lubang penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.

Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki-�laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedang�kan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya se�orang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. �Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Pertempuran di benteng Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-�luka berat, diantaranya 15 orang perwira.

Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada tanggal 2 Juni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-�penghulu Gayo sebanyak dua belas orang untuk me�maksa mereka takluk kepada penguasa kolonial Belanda.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar ber�nama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semua�nya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiap�kan jauh sebelum pasukan musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah ber�langsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantara�nya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-�anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.

Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang. Sedang�kan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak anak. Di pihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah ber�gunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena mendapat serangan gerilya.

Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang, tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa kalah. Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion, yang pada tahun 1904 di daerah Meulaboh di pantai barat, dengan kekuatan se�tengah divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan kakaknya, Teuku Johan.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter�masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukan gerilya�wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun 1896. Empat orang putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me�nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilya�wan muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman, tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir.

Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh-�tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah. Hidup mulia atau mati syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat per�sembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu ber�nama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.

Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon. Daerah medan�nya yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukgn gerakan yang sulit untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda.

Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910, pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada tahun 1917 karena luka-luka kena peluru.

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lama�nya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang Aceh yang me�landa hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncak- puncak gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang spesifik bagi Aceh.

Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507.

1 comment:

Baka Kelana said...

Noe panyang dan lengkap that,sangat bermamfaat nyoe bagi ureung Aceh ngoen di teupe seujarah endatu