Monday, April 29, 2013

Jejak Pemukiman Kota Pelabuhan Kuno Bukit Lamreh

MANDAPATTU:
KUIL EMAS TAMIL
KAWASAN BUKIT LAMREH
Oleh: Deddy Satria




Gambar Rekonstruksi I:

Denah Mandapattu dengan tiga teras dan halaman

Kawasan perbukitan Bukit Lamreh (Ujung Batee Kapal-UBK) bagian utara.









Gambar Rekonstruksi II:
Denah Bangunan Mandapattu








Gambar Rekonstruksi III:

Tampak Samping Bangunan Mandapattu













Gambar Rekonstruksi IV:

Tampak Samping Susunan Bangunan

Jejak Pemukiman Kota Pelabuhan Kuno Bukit Lamreh

Bangunan rumah dan balai yang disusun pada teras-teras membentuk deretan gang atau jalan di kawasan perbukitan Bukit Lamreh (Ujung Batee Kapal-UBK) bagian utara.












Konteks Arkeologis: Temuan Permukaan

Altar batu pemujaan dengan seni pahat bergaya Tamil Nadu dari abad ke-13 M. (foto oleh Mizuar, Februari 2013)












Keramik Cina masa Song hingga Yuan abad ke-13 M. hingga abad ke-14 M. (foto oleh Deddy Satria, Februari 2013)











Keramik Cina jenis batuan (stonewere) Longquan, Zhejiang, masa Song hingga Yuan abad ke-13 M. hingga abad ke-14 M. (foto oleh Deddy Satria, Februari 2013)









Beberapa batu nisan masa Islam yang ditemukan bersamaan dengan struktur bangunan teras Mandapattu Kuil Emas Tamil dan jejak struktur teras pemukiman kota pelabuhan kuno Bukit Lamreh. Yaitu, (1) batu nisan plakplik makam Malik Syamsuddin (wafat 821 H./1419 M.) dan (2) batu nisan bergaya Delhi India Islam seorang ‘Syaikh’ yang belum dapat dibaca namanya yang diduga wafat pada pertengahan awal abad ke-9 H. atau pertengahan awal abad ke-15 M. serta beberapa batu nisan lainnya yang telah dibaca oleh Epigrap Taqiyuddin Muhammad tahun 2012 (belum diterbitkan).


Salah satu yang syair yang terpahat pada
Makam Malik Syamsuddin
(w. 7 Ramadhan 822 H/1419)

 والبحر عميق
بلا سفن فكيف
تعبرون

(DAN LAUT TERAMAT DALAM
JIKA TANPA BAHTERA
BAGAIMANA ENGKAU AKAN MELAYARINYA)

Suatu ungkapan indah dan sangat bermakna dengan menggunakan kosakata kemaritiman. Di sini, terlihat bagaimana laut dan dunia maritim telah mengilhami suatu pengungkapan yang ditujukan sebagai pesan bahwa perjalanan hidup menuju suatu cita-cita tidak akan pernah tercapai apabila kita tidak mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perjalanan. Dan ungkapan ini juga dapat bermakna bahwa kebahagiaan akhirat juga tidak akan diperoleh apabila kita tidak menyediakan perbekalaan yang cukup untuk itu, yakni amal. 

oleh : Tgk. Taqiyuddin Muhammad, Lc 
Peneliti Sejarah dan Kebudayaan Aceh

Salah satu syair yang terpahat pada nisan ini :

"Barang siapa yang mengejar dunia, maka ia adalah tawanan
barang siapa yang mengejar akhirat, maka ia adalah pangeran".







 
Makam Malik 'Alauddin 
(w. sabtu 30 Ramadhan 822 H/1419 M)



Diantara yang terpahat pada nisan ini adalah :

"Kematian adalah titian yang menyampaikan seorang kekasih kepada kekasihnya.
Dunia hanya sesaat maka jadikanlah ia sebagai waktu ketaatan.
Dunia adalah tempat bercocok tanam akhirat.
Dunia itu Fana dan akhirat itu kekal".






 Makam Maulana Qadhi Shadrul Islam Isma'il 
(w. Jum'at 7 Syawwal 852 H/1448 M)


Tuesday, March 12, 2013

Menurut Arkheolog Deddy Satria seperti yang ada di foto atas dengan hasil 'rubbing' atau cetak positif batu nisan dari periode Samudera Pasai-Lamuri, abad ke-15 M. Secara morfologis, batu nisan ini memiliki ciri umum bentuk batu nisan dari periode awal perkembangan Islam di kawasan dunia Melayu, Sumatera. Batu nisan ini yang sangat menarik dalam hal rancangan motif hiasnya yang cukup jarang ditemukan, terutama gaya seni pahatnya. Tema motifnya yaitu motif berupa 'gumbak' atau 'gelombang samudera', munkin dapat dihubungkan dengan si almarhum sebagai pelaut pada masa hidupnya, karena lokasi makam berada dalam lintasan pelayaran-perdagangan dunia sejak jaman pertengahan dan menjadi jalur jaringan ulama pada masa mekarnya agama Islam di Kawasan Asia Tenggara, lalu menjadi jalur kolonialisme kristen-eropa (Portugis-Inggris-Belanda-Perancis). Dan motif geometrik dipadukan dengan tetumbuhan sangat populer dalam khasanah seni kebudayaan Islam dunia, terutama pada kurun waktu abad ke-14 M. saat Timur Lank mendirikan pusat peradaban Islam di Samarkhan (setelah penghancuran Bagdad oleh Mongol pimpinan Humayun) hingga abad ke-16 M. ketika munculnya tiga kekuasaan Islam Turky-Usamani sebagai kekhalifahan Islam terakhir, Safawiyyah Persia Syiah, dan Mughal India. Tema hiasan ini belum ditemukan di kawasan Aceh Utara, namun biasa ditemukan pada batu nisan Islam di Barus, kadang muncul pada batu nisan dari masa Aceh Darussalam. (Foto oleh Mizuar Mahdi Al-Asyi, hasil survey permukaan tahun Januari 2013).

Tuesday, January 31, 2012

NISAN DARI KERAJAAN LAMURI DAN SAMUDERA PASAI DI NEUSU ACEH


Hasil Survey Awal di Lingkungan Mesjid Babul Jannah
Neusu Aceh, Banda Aceh, tahun 2012
Deddy Satria
Arkeolog Independen Aceh

(Gambar tanpa skala oleh Deddy Satria, 2012)

Penataan kelompok makam bersama (a) dan batu nisan kuno dari lingkungan Mesjid Babul Jannah, Neusu Aceh, Banda Aceh. Makam dan batu nisan kuno jenis tipe pasai dan plakpleng; (b) kelompok makam VIII dengan delapan makam, (c) kelompok makam V dengan lima makam dan (d) kelompok makam VII dengan tujuh makam. Penamaan kelompok makam berdasarkan jumlah temuan makam dengan penanda batu nisan jenis tersebut di atas.

Penamaan batu nisan tipe Pasai digunakan di sini untuk membedakan rancangan bentuk dan gaya seni pahat batu nisan dengan batu nisan dari periode Aceh Darussalam secara kronologis. Para peneliti batu nisan kuno Aceh, kususnya Hasan M. Ambary (1984) dan Othman M. Yatim (1988), dalam klasifikasi dan tipologi menghasilkan beberapa kelompok dan penyebutan atau istilah untuk batu nisan kuno Aceh. Namun baik Ambary maupun Othman tidak membedakan batu nisan kuno di Aceh dalam periodesasi sejarah Aceh, yang dalam kenyataannya kedua periode tersebut cukup berbeda dan masing-masing berkembang secara mandiri, walaupun masih saling berhubungan.

Batu nisan dari masa Samudera Pasai maupun dari masa Aceh Darussalam termasuk batu nisan ‘Tipe Aceh’ dalam tipologi Ambary (Hasan M. Ambary, L‘art Funeire Musulman en Indonesie des Origines aux XIXa Siecle, Etude Epigraphique et Typologique, These Pourle Doctorat de Troisieme Cycle, EHESS, Paris, 1984.) atau ‘Batu Aceh’ dalam tipologi Ohtman (Othman M. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic in Paninsular Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1988.).
Secara kronologis, dalam penyusunan periodesasi sejarah Aceh dikenal dua periode sejarah yang berbeda, yaitu sejarah kebudayaan Islam Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Samudera Pasai dalam kajian sejarah perkembangan kebudayaan Islam di nusantara merupakan kesultanan Islam pertama di kawasan Nusantara yang berhasil menggembangkan kebudayaan Islam. Salah satu hasil budaya Islam masa Samudera Pasai yang cukup dikenal yaitu batu nisan, selain koin emas, dengan persebaran dan pengaruhnya yang cukup luas dari Semenanjung Melayu hingga pulau Jawa. Pengaruh itu cukup kuat di kawasan Selat Malaka hingga mempengaruhi Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pewaris dan melanjutkan kebudayaan Islam Pasai.

Batu nisan dalam tipe Aceh atau ‘Batu Aceh’ secara kronologis juga dapat dibedakan menjadi dua periodesasi sejarah tersebut. Pertama, batu nisan dari periode Kesultanan Samudera Pasai (sejak akhir abad ke-13 M hingga digabungkan ke dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam tahun 1524 M.) dan kedua batu nisan dari periode Kesultanan Aceh Darussalam (sejak awal abad ke-16 M. hingga 1900-an M.). Batu nisan dari periode Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kelanjutan dari batu nisan periode Samudera Pasai. Namun demikian, batu nisan dari Aceh Darussalam mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam rancangan bentuk batu nisan, gaya seni hias, dan penggunaan khat dalam kaligrafi Islam. Walaupun pada masa awal perkembangannya, batu nisan Aceh Darussalam banyak mengukuti rancangan bentuk batu nisan Samudera Pasai akhir, terutama dalam hal rancangan bentuk batu nisan dan motif hias.
Batu nisan dari Neusu Aceh merupakan batu nisan dari masa peralihan dari sejarah kebudayaan Islam Pasai akhir ke masa awal munculnya Kesultanan Aceh. Secara morfologis, terutama rancangan bentuk batu nisan dan penggunaan elemen motif, mempunyai banyak kesamaan dengan tradisi pembuatan batu nisan dari masa Samudera Pasai atau ‘Batu Pasai’. Namun mengalami sedikit perbedaan pada gaya seni pahat dan rancangan motif hias dan gaya kaligrafi Islam. Selain itu, bahan batuan yang digunakan sangat berbeda dengan bahan batuan Tuffa berwarna keabuan yang bertektur agak kasar biasa digunakan pada batu nisan dari masa Samudera Pasai. Jenis batuan yang biasa digunakan untuk batu nisan masa Aceh Darussam berwarna krem kecoklatan dan bertekstur halus. 

MAKAM VIII NEUSU ACEH

Makam di sini berjumlah delapat, diantaranya enam batu nisan ‘Batu Pasai’ dan dua jenis batu nisan plakpleng. Lima dari batu nisan mengandung kaligrafi dan motif hias.

Makam Fahr ad Din



Kolofon Fahr ad Din & surah al Ikhlas  (112); 1-4 (Kemurnian Tauhid).

ﻓﻬﺭﺍﻟﺩﻴﻥ
Jenis khat pada kolofon segitiga Harf an Nar, ‘berujung lidah api




Kolofon dengan nama tokoh Nasr ad Din; “ﻨﺴﺭﻭﺍﻟﺩﻴﻥ
Penulisan khat dengan tehnik dekoratif yang bersifat ornamental pada kolofon bagian kaki batu nisan menggunakan motif tetumbuhan, tunas, daun dan bunga.

Motif pada bagian kaki batu nisan






Makam nomor 7 ; Nasr ad Din, Batu nisan kepala, sisi (atas) U-T dan (bawah) S-B

Khat ditulis dalam penataan panil berbentuk grid, panil terbagi dalam sembilan kotak, untuk menghasilkan kesan teratur pada bidang batu nisan yang sempit menjadikannya tampak padat. Tehnik menghias dengan rancangan kaligrafi Islam ini biasa dan menjadi salah satu ciri dalam seni hias Islam. Tradisi menghias batu nisan seperti ini juga dikenal pada seni pahat batu nisan Samudera Pasai, walaupun sangat jarang ditemukan. Rancangan khat dengan deretan garis vertical serupa tirai bagi huruf bulat dan melengkung.





Makam nomor 7 ; Nasr ad Din, Batu nisan kaki, sisi utara



KALIMAH SYAHADAH;
Laa Ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah”.

Isi teks epitap ini sangat dominan pada batu nisan tipe batu Pasai dari Nausu Aceh. Delapan batu nisan yang dijadikan pengamatan, termasuk dua batu nisan jenis tipe plakpleng, hanya dua batu nisan yang tidak mengandung teks ini. Yaitu, batu nisan pada makam ‘Fahr ad Din’ dan makam ‘Nasr ad Din’.






ﻻﺍﻠﻪﺍﻻﺍﻠﻟﻪ, ﻤﺤﻤﺩ ﺭﺴﻭﻻﺍﻠﻟﻪ



Hal yang sangat menarik dari teks ini yaitu cara merancang khat kaligrafi dengan berbagai tehnik dan metode. Formula susunan huruf, menggayakan huruf atau kalimat/kata tertentu dan memberikan makna kusus dengan tehnik styler.
Tema ‘kemurnian tauhid’ menjadi isi teks epitap pada batu nisan tipe Pasai dan juga plak pleng di Neusu Aceh. Ini juga dapat dilihat isi teks dengan ‘kalimah syahadah’ penulisannya kadang berulang dan sebuah makam, makam Nasr ad Din, dengan kutipan surah al Ikhlas (112) ayat 1 hingga 4. Isi teks seperti ini sesuat menjadi biasa pada batu nisan di Aceh.


Makam nomor 4 dan 5; ‘Kalimah Syahadah’. Batu nisan bagian kepala makam sisi selatan.
Nama Tokoh Nasr ad Din dan Fahr ad Din. Pembacaan terhadap teks epitap yang unik ini memang masih perlu ditinjauan. Kedua batu nisan pada makam ini mengandung penanda atau banyak hal yang mengarah kepada satu petunjuk kedua tokoh ini sangat penting semasa hidupnya. Teks epitapnya tidak memberikan penjelasan apa pun tentang kedudukan dan peran tokoh dalam kehidupannya. Selain kolofon yang mengandung nama tokoh, teks epitap dengan kutipan ayat al Qur’an, Surah al Ikhlas (112) pada batu nisan Fahr ad Din dan kutipan ayat yang belum terbaca pada batu nisan Nasr ad Din, suatu temuan yang tidak biasa di Makam VIII Neusu Aceh.
Isi teks epitap kutipan ayat al Qur’an tersebut cukup penting dan sedikit memberikan penjelasan bahwa kedua tokoh tersebut orang yang cukup taat menjalankan ajaran Islam. Selain itu, kolofon dengan nama yang disamarkan dalam tradisi kebudayaan dunia Islam hanya dibuat oleh dan untuk tokoh yang cukup terhormat dalam masyarakat Islam, seperti para imam (pemimpin) dan ulama. Bentuk kolofon segitiga atau kolofon persegi empat biasa ditemukan dalam teks Islam, terutama dalam tradisi penulisan teks Islam di wilayah persebaran kebudayaan Persia Islam(Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, Thames and Hudson Limited, London, 1978, p. 94-95).
Batu Pasai di pemakaman ini, enam makam -selain dua makam dengan jenis batu nisan plakpleng, cenderung tidak dihias kecuali kaligrafi Islam dengan teks epitap berisi ‘kalimah syahadah’. Teks epitap hanya di pahat pada batu nisan bagian kepala makam sisi selatan pada panil pensegi panjang satu kolom sederhana yang dibuatkan pada bagian badan bawah atau kaki batu nisan. Ini salah satu ciri yang sering ditemukan pada batu nisan di Neusu Aceh.
Rancangan motif hias, berupa tetumbuhan, pola geometric, dan arabesque, juga jarang ditemukan pada batu nisan di sini. Terutama pada makam Nasr ad Din yaitu makam nomor 7 dari Makam VIII Neusu Aceh dan makam nomor 3 dari Makam V Neusu Aceh. Kedua makam tersebut diduga kuat sebagai makam tokoh yang sangat penting sehingga penanda makamnya dengan batu nisan yang dihias dengan seni pahat timbul. Rancangan bentuk dan gaya motif hias yang khas ini dibuat kusus sebagai penanda untuk membedakan dengan batu nisan pada makam lainnya.





MAKAM V NEUSU ACEH

Makam bersama ini terdiri dari lima makam dengan batu nisan yang dipahat, satu diantaranya (makam nomor 3) dihias dengan pahat timbul kaligrafi Islam yang padat dan motif hias. Makam nomor 3, baik batu untuk kepala dan kaki, dihias dengan motif dan kaligrafi dengan rancangan bergaya batu nisan tipe Aceh Darussalam dari masa periode awal, tahun 1500-1530 M.





Atas. Kepala; sisi timur (T) dan barat (B)
Bawah. Kaki sisi timur (T) dan sisi barat (B); ‘Amir Salam ?’

Tehnik penulisan huruf secara vertical, sehingga terkesan terbalik, dan penulisan penggalan hurufnya pun terbalik tidak mengikuti struktur kalimat. Cara penulisan ini dimaksudkan untuk menghasilkan rancangan dengan dampak yang menarik, seperti Muhammad yang divariasikan rancangan bentuk dan  penulisannya. Tehnik penulisan ini telah dikenal sejak masa Samudera Pasai.


MAKAM VII NEUSU ACEH
Dua batu nisan dengan Batu Pasai, salah satunya mengandung teks epitep berisi kalimah syahadah, dan sebuah batu nisan jenis plakpleng dengan teks epitap yang ditulis secara terbalik. Batu Pasai di sini tidak ada hal yang berbeda dari batu nisan di kedua makam lain.

MAKAM TUAN IBNU SYAMSU SYAH
Batu nisan bagian kepala nisan sisi utara dan selatan
Makam Tuan Ibnu Syamsu Syah ini berada sedikit jauh dari lokasi tiga kelompok makam di atas. Di makam ini hanya ditemukan satu makam dengan batu nisan kuno berukir dari periode yang sama dengan batu nisan kuno di atas. Nama tokoh ditulis dengan menggunakan susunan kalimat yang sangat baku dan sering ditemukan pada batu nisan kuno di Aceh. Isi teks epitap secara berurutan meliputi; (i) diawali dengan kalimat pembuka ‘inilah kubur …’, lalu diikuti dengan (ii) nama tokoh dan kadang dengan gelar, kemudian (iii) pujian untuk tokoh dan atau keterangan waktu kematian dalam hitungan hijriah.
Teks epitap dipahat dalam panil yang dibagi dalam tiga kolom, nama tokoh ditulis pada kolom I dengan isi teks;
ﻫﺫﺍﻟﻗﺒﺭﺘﻭﻥ ﺍﺒﻥ ﺸﻤﺱ ﺸﺎﻩ
Inilah kubur Tuan Ibnu Syamsu Syah
Kata ‘Tuan’ yang disandang tokoh dalam tradisi teks Melayu klasik, menunjukkan dia seorang ‘majikan’ yang memiliki hamba sahaya atau budak. Atau dengan kata lain, dia seorang pemimpin seperti seorang penguasa ‘raja’ yang mempunyai beberapa hamba. Namun anehnya tokoh ini hanya dimakamkan seorang diri, tanpa pendamping dari masanya, selain batu nisan ini juga banyak ditemukan makam kuno lain, namun secara kronologis berasal dari masa yang lebih kemudian.  Sementara nama tokoh ‘Ibnu Syamsu Syah’ atau ‘anak Syamsu Syah’ mengingatkan pada nama seorang tokoh yang dipahatkan pada salah satu makam di Makam Mahkota Alam, Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. Di makam ini terdapat beberapa makam tokoh keluarga Kesultanan Aceh Darussalam dari abad ke-16 M., salah satu tokoh utama bernama Raja Syamsu Syah bin Munawwar Syah yang wafat tahun 1530 M. Nama Syamsu Syah juga ditemukan pada makam keluarga Sultan Aceh Darussalam yang lain dari abad ke-16 M., yaitu Makam Kandang XII. Di makam ini terdapat makam pendiri Kesultanan Aceh Darussalam dan pemersatu wilayah yang kemudian hari dikenal sebagai Aceh, yaitu makam Sultan ‘Ali Mughayah Syah bin Syamsu Syah bin Munawwar Syah yang wafat tahun 1530 M.
Bila benar Tuan Ibnu Syamsu Syah dari Neusu Aceh sebagai putra Raja Syamsu Syah dan menjadi saudara seayah Sultan ‘Ali Mughayah Syah, maka tokoh ini merupakan salah satu dari keluarga Sultan Aceh Darussalam dari Dinasti Mahkota Alam (1497 M. hingga 1571/2 M.). jika ini benar ini sungguh menarik karena dapat memberi gambaran geneologis keluarga Sultan Aceh dari periode awal yang masih belum terungkap.

Batu nisan makam Tuan Ibnu  Syamsu Syah secara morfologis memiliki rancangan bentuk dan dihias dengan motif yang sangat sederhana, berbeda dengan makam-makam para pangeran yang berukuran besar dan sangat mencolok. Namun dari aspek kaligrafi Islam, rancangan khat yang digunakan memiliki kesamaan dengan periode makam keluarga sultan Aceh, yaitu menggunakan jenis khat Tsulust ornamental dengan penggayaan (styler) huruf  menjadi tunas-tunas daun dan bunga.

JENIS BATU NISAN PLAK PLENG
Jenis batu nisan plakpleng secara morfologis sangat berbeda dengan batu nisan dari Periode Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Rancangan bentuknya menyerupai tiang tugu batu yang diukir dan dipenuhi oleh motif hias yang dipahat dalam dengan tema bunga berukuran besar seperti teratai biru atau lotus dan melati atau jasmin. Bentuk dan gaya kaligrafi Islamnya juga sangat berbeda, menggunakan jenis khat Tsulust-Naskhi dengan garis vertical yang melebar dengan ujung-ujung terpotong tajam.
Hanya ada tiga batu nisan plakpleng dari Neusu Aceh. Persebaran batu nisan jenis plakpleng dengan rancangan bentuk dan gaya motif hias serta gaya dan jenis khat kaligrafi Islam cukup luas di Banda  Aceh dan Aceh Besar, seperti Kampung Pande, Kampung Tibang, Mukim Tanjong-Tungkop, Kampong Ilie di Mukim Ule Kareng, Mukim Lamrung, dan Mukim Siron. Rancangan bentuk motif dan gaya seni pahat batu nisan ini sering ditemukan dan secara kronologis yang lebih awal yaitu akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16 M.
Jenis batu nisan plakpleng dari Kampung Pande berasal dari pertengahan akhir abad ke-15 M., yaitu 1460-an M. Guillot & Kalus yang telah membaca teks epitap berhasil membaca beberapa batu nisan jenis ini di Kampung Pande, terutama lima batu nisan yang berada di pemakaman Tuan di Kandang dengan kode TK (Cloude Guillot & Ludvik Kalus, ’Les Monuments Foneraires et l’Histoire du Sultanate de Pase a Sumatra’, Cahierd’ Archipel 37, Paris, 2008, p.326-336). Batu nisan tersebut yaitu, (i) TK I/03, tahun 849 H. atau 1446 M.; (ii) TK I/04, tahun 865 H. atau 1460 M., (iii) TK I/05, tahun 888 H. atau 1483-1484 M.; (iv) TK I/07, tahun 862 H. atau 1458 M.; (v) TK I/19, tahun 865 H. atau 1461 M. Periode batu nisan plang pleng yaitu dari tahun 1446 s/d 1484 M.


Plakpleng dengan teks epitap ‘Kalimah Syahadah’ dari Makam VIII Neusu Aceh


Batu nisan jenis plakpleng dengan teks epitap, mungkin kalimah syahadah, ditulis secara terbalik. Dari Makam VII Neusu Aceh

Deddy Satria
Arkeolog Independen Aceh








REFERENSI:

·      Achmad Cholid Sodrie, ‘Nisan-Nisan Samudera Pasai’, Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1992, p. 53-59.

·      Cloude Guilot dan Ludvik Kalus, ‘Les Monuments Foneraires  et l’Histoire du Sultananate de Pase a Sumatera’, Cahierd’ Archipel 37, Paris, 2008.

·      David T. Rice, Islamic Art, Thames and Hudson Limited, London, 1996.

·      Dalu Lones, ‘The Elements of Decoration: Surface, Pattern dan Light’, Architecture of the Islamic World, (Edited by George Michell), Thames and Hudson, London, 1991.
·      Hasan M. Ambary, L‘art Funeire Musulman en Indonesie des Origines aux XIXa Siecle, Etude Epigraphique et Typologique, These Pourle Doctorat de Troisieme Cycle, EHESS, Paris, 1984.
·      Oleg Graber, The Formation of Islamic Art, New Heaven and London, Yale University Press, London, 1973.
·      Othman M. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic in Paninsular Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1988.
·      Othman M. Yatim dan Abdul Halim Nasir, Epigrafi Islam Terawal di Nusantara, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1990.
·      Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, Thames and Hudson Limited, London, 1978.