Hasil
Survey Awal di Lingkungan Mesjid Babul Jannah
Neusu
Aceh, Banda Aceh, tahun 2012
Deddy
Satria
Arkeolog
Independen Aceh
(Gambar
tanpa skala oleh Deddy Satria, 2012)
Penataan kelompok makam bersama (a) dan batu
nisan kuno dari lingkungan Mesjid Babul Jannah, Neusu Aceh, Banda Aceh. Makam
dan batu nisan kuno jenis tipe pasai dan plakpleng; (b) kelompok makam VIII
dengan delapan makam, (c) kelompok makam V dengan lima makam dan (d) kelompok makam VII dengan tujuh makam.
Penamaan kelompok makam berdasarkan jumlah temuan makam dengan penanda batu
nisan jenis tersebut di atas.
Penamaan batu nisan tipe Pasai
digunakan di sini untuk membedakan rancangan bentuk dan gaya seni pahat batu
nisan dengan batu nisan dari periode Aceh Darussalam secara kronologis. Para
peneliti batu nisan kuno Aceh, kususnya Hasan M. Ambary (1984) dan Othman M.
Yatim (1988), dalam klasifikasi dan tipologi menghasilkan beberapa kelompok dan
penyebutan atau istilah untuk batu nisan kuno Aceh. Namun baik Ambary maupun
Othman tidak membedakan batu nisan kuno di Aceh dalam periodesasi sejarah Aceh,
yang dalam kenyataannya kedua periode tersebut cukup berbeda dan masing-masing
berkembang secara mandiri, walaupun masih saling berhubungan.
Batu nisan dari masa Samudera
Pasai maupun dari masa Aceh Darussalam termasuk batu nisan ‘Tipe Aceh’ dalam
tipologi Ambary (Hasan M. Ambary, L‘art Funeire Musulman en Indonesie des
Origines aux XIXa Siecle, Etude Epigraphique et Typologique, These
Pourle Doctorat de Troisieme Cycle, EHESS, Paris, 1984.) atau ‘Batu Aceh’ dalam
tipologi Ohtman (Othman M. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic in Paninsular
Malaysia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1988.).
Secara kronologis, dalam
penyusunan periodesasi sejarah Aceh dikenal dua periode sejarah yang berbeda,
yaitu sejarah kebudayaan Islam Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Samudera
Pasai dalam kajian sejarah perkembangan kebudayaan Islam di nusantara merupakan
kesultanan Islam pertama di kawasan Nusantara yang berhasil menggembangkan
kebudayaan Islam. Salah satu hasil budaya Islam masa Samudera Pasai yang cukup
dikenal yaitu batu nisan, selain koin emas, dengan persebaran dan pengaruhnya
yang cukup luas dari Semenanjung Melayu hingga pulau Jawa. Pengaruh itu cukup
kuat di kawasan Selat Malaka hingga mempengaruhi Kesultanan Malaka dan
Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pewaris dan melanjutkan kebudayaan Islam
Pasai.
Batu nisan dalam tipe Aceh atau
‘Batu Aceh’ secara kronologis juga dapat dibedakan menjadi dua periodesasi
sejarah tersebut. Pertama, batu nisan dari periode Kesultanan Samudera Pasai
(sejak akhir abad ke-13 M hingga digabungkan ke dalam wilayah Kesultanan Aceh
Darussalam tahun 1524 M.) dan kedua batu nisan dari periode Kesultanan Aceh
Darussalam (sejak awal abad ke-16 M. hingga 1900-an M.). Batu nisan dari
periode Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kelanjutan dari batu nisan periode
Samudera Pasai. Namun demikian, batu nisan dari Aceh Darussalam mengalami
perkembangan yang sangat berarti dalam rancangan bentuk batu nisan, gaya seni
hias, dan penggunaan khat dalam
kaligrafi Islam. Walaupun pada masa awal perkembangannya, batu nisan Aceh
Darussalam banyak mengukuti rancangan bentuk batu nisan Samudera Pasai akhir,
terutama dalam hal rancangan bentuk batu nisan dan motif hias.
Batu nisan dari Neusu Aceh
merupakan batu nisan dari masa peralihan dari sejarah kebudayaan Islam Pasai
akhir ke masa awal munculnya Kesultanan Aceh. Secara morfologis, terutama
rancangan bentuk batu nisan dan penggunaan elemen motif, mempunyai banyak
kesamaan dengan tradisi pembuatan batu nisan dari masa Samudera Pasai atau
‘Batu Pasai’. Namun mengalami sedikit perbedaan pada gaya seni pahat dan
rancangan motif hias dan gaya kaligrafi Islam. Selain itu, bahan batuan yang
digunakan sangat berbeda dengan bahan batuan Tuffa berwarna keabuan yang
bertektur agak kasar biasa digunakan pada batu nisan dari masa Samudera Pasai.
Jenis batuan yang biasa digunakan untuk batu nisan masa Aceh Darussam berwarna
krem kecoklatan dan bertekstur halus.
MAKAM VIII NEUSU ACEH
Makam di sini berjumlah delapat,
diantaranya enam batu nisan ‘Batu Pasai’ dan dua jenis batu nisan plakpleng.
Lima dari batu nisan mengandung kaligrafi dan motif hias.
Makam Fahr ad Din
Kolofon Fahr ad Din
& surah al Ikhlas (112); 1-4 (Kemurnian
Tauhid).
“ﻓﻬﺭﺍﻟﺩﻴﻥ”
Jenis khat pada kolofon
segitiga Harf an Nar, ‘berujung
lidah api’
Kolofon dengan nama tokoh Nasr ad
Din; “ﻨﺴﺭﻭﺍﻟﺩﻴﻥ”
Penulisan khat dengan tehnik dekoratif yang bersifat ornamental pada kolofon
bagian kaki batu nisan menggunakan motif tetumbuhan, tunas, daun dan bunga.
Motif pada bagian kaki batu nisan
Makam nomor 7 ; Nasr ad
Din, Batu nisan kepala, sisi (atas) U-T dan (bawah) S-B
Khat ditulis dalam penataan panil
berbentuk grid, panil terbagi dalam sembilan kotak, untuk menghasilkan kesan
teratur pada bidang batu nisan yang sempit menjadikannya tampak padat. Tehnik
menghias dengan rancangan kaligrafi Islam ini biasa dan menjadi salah satu ciri
dalam seni hias Islam. Tradisi menghias batu nisan seperti ini juga dikenal
pada seni pahat batu nisan Samudera Pasai, walaupun sangat jarang ditemukan.
Rancangan khat dengan deretan garis vertical serupa tirai bagi huruf bulat dan
melengkung.
Makam nomor 7 ; Nasr ad
Din, Batu nisan kaki, sisi utara
KALIMAH SYAHADAH;
”Laa
Ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah”.
Isi teks epitap ini sangat
dominan pada batu nisan tipe batu Pasai dari Nausu Aceh. Delapan batu nisan
yang dijadikan pengamatan, termasuk dua batu nisan jenis tipe plakpleng,
hanya dua batu nisan yang tidak mengandung teks ini. Yaitu, batu nisan pada
makam ‘Fahr ad Din’ dan makam ‘Nasr ad Din’.
|
|
Hal yang sangat menarik dari teks
ini yaitu cara merancang khat kaligrafi dengan berbagai tehnik dan metode.
Formula susunan huruf, menggayakan huruf atau kalimat/kata tertentu dan
memberikan makna kusus dengan tehnik styler.
Tema ‘kemurnian tauhid’ menjadi
isi teks epitap pada batu nisan tipe Pasai dan juga plak pleng di Neusu Aceh.
Ini juga dapat dilihat isi teks dengan ‘kalimah syahadah’ penulisannya kadang
berulang dan sebuah makam, makam Nasr ad Din, dengan kutipan surah al Ikhlas
(112) ayat 1 hingga 4. Isi teks seperti ini sesuat menjadi biasa pada batu
nisan di Aceh.
Makam nomor 4 dan 5; ‘Kalimah Syahadah’. Batu nisan bagian
kepala makam sisi selatan.
Nama
Tokoh Nasr ad Din dan Fahr ad Din. Pembacaan terhadap teks epitap yang
unik ini memang masih perlu ditinjauan. Kedua batu nisan pada makam ini
mengandung penanda atau banyak hal yang mengarah kepada satu petunjuk kedua
tokoh ini sangat penting semasa hidupnya. Teks epitapnya tidak memberikan
penjelasan apa pun tentang kedudukan dan peran tokoh dalam kehidupannya. Selain
kolofon yang mengandung nama tokoh, teks epitap dengan kutipan ayat al Qur’an,
Surah al Ikhlas (112) pada batu nisan Fahr ad Din dan kutipan ayat yang belum
terbaca pada batu nisan Nasr ad Din, suatu temuan yang tidak biasa di Makam
VIII Neusu Aceh.
Isi teks epitap kutipan ayat al
Qur’an tersebut cukup penting dan sedikit memberikan penjelasan bahwa kedua
tokoh tersebut orang yang cukup taat menjalankan ajaran Islam. Selain itu,
kolofon dengan nama yang disamarkan dalam tradisi kebudayaan dunia Islam hanya
dibuat oleh dan untuk tokoh yang cukup terhormat dalam masyarakat Islam,
seperti para imam (pemimpin) dan ulama. Bentuk kolofon segitiga atau kolofon
persegi empat biasa ditemukan dalam teks Islam, terutama dalam tradisi
penulisan teks Islam di wilayah persebaran kebudayaan Persia Islam(Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, Thames
and Hudson Limited, London, 1978, p. 94-95).
Batu Pasai di pemakaman ini, enam
makam -selain dua makam dengan jenis batu nisan plakpleng, cenderung tidak
dihias kecuali kaligrafi Islam dengan teks epitap berisi ‘kalimah syahadah’.
Teks epitap hanya di pahat pada batu nisan bagian kepala makam sisi selatan
pada panil pensegi panjang satu kolom sederhana yang dibuatkan pada bagian badan
bawah atau kaki batu nisan. Ini salah satu ciri yang sering ditemukan pada batu
nisan di Neusu Aceh.
Rancangan motif hias, berupa
tetumbuhan, pola geometric, dan arabesque,
juga jarang ditemukan pada batu nisan di sini. Terutama pada makam Nasr ad Din
yaitu makam nomor 7 dari Makam VIII Neusu Aceh dan makam nomor 3 dari Makam V
Neusu Aceh. Kedua makam tersebut diduga kuat sebagai makam tokoh yang sangat
penting sehingga penanda makamnya dengan batu nisan yang dihias dengan seni
pahat timbul. Rancangan bentuk dan gaya motif hias yang khas ini dibuat kusus
sebagai penanda untuk membedakan dengan batu nisan pada makam lainnya.
MAKAM V NEUSU ACEH
Makam bersama ini terdiri dari
lima makam dengan batu nisan yang dipahat, satu diantaranya (makam nomor 3) dihias
dengan pahat timbul kaligrafi Islam yang padat dan motif hias. Makam nomor 3,
baik batu untuk kepala dan kaki, dihias dengan motif dan kaligrafi dengan
rancangan bergaya batu nisan tipe Aceh Darussalam dari masa periode awal, tahun
1500-1530 M.
Atas.
Kepala; sisi timur (T) dan barat (B)
Bawah.
Kaki sisi timur (T) dan sisi barat (B); ‘Amir
Salam ?’
Tehnik penulisan huruf secara
vertical, sehingga terkesan terbalik, dan penulisan penggalan hurufnya pun
terbalik tidak mengikuti struktur kalimat. Cara penulisan ini dimaksudkan
untuk menghasilkan rancangan dengan dampak yang menarik, seperti Muhammad yang
divariasikan rancangan bentuk dan penulisannya. Tehnik penulisan ini telah
dikenal sejak masa Samudera Pasai.
|
MAKAM VII NEUSU
ACEH
Dua batu nisan dengan Batu Pasai,
salah satunya mengandung teks epitep berisi kalimah syahadah, dan sebuah batu
nisan jenis plakpleng dengan teks epitap yang ditulis secara terbalik. Batu
Pasai di sini tidak ada hal yang berbeda dari batu nisan di kedua makam lain.
MAKAM TUAN IBNU
SYAMSU SYAH
Batu
nisan bagian kepala nisan sisi utara dan selatan
Makam Tuan Ibnu Syamsu Syah ini
berada sedikit jauh dari lokasi tiga kelompok makam di atas. Di makam ini hanya
ditemukan satu makam dengan batu nisan kuno berukir dari periode yang sama
dengan batu nisan kuno di atas. Nama tokoh ditulis dengan menggunakan susunan
kalimat yang sangat baku dan sering ditemukan pada batu nisan kuno di Aceh. Isi
teks epitap secara berurutan meliputi; (i) diawali dengan kalimat pembuka ‘inilah kubur …’, lalu diikuti dengan (ii) nama tokoh dan kadang dengan
gelar, kemudian (iii) pujian untuk tokoh dan atau keterangan waktu kematian
dalam hitungan hijriah.
Teks epitap dipahat dalam panil
yang dibagi dalam tiga kolom, nama tokoh ditulis pada kolom I dengan isi teks;
ﻫﺫﺍﻟﻗﺒﺭﺘﻭﻥ
ﺍﺒﻥ ﺸﻤﺱ ﺸﺎﻩ
“Inilah kubur Tuan Ibnu Syamsu Syah”
Kata ‘Tuan’ yang disandang
tokoh dalam tradisi teks Melayu klasik, menunjukkan dia seorang ‘majikan’ yang
memiliki hamba sahaya atau budak. Atau dengan kata lain, dia seorang pemimpin
seperti seorang penguasa ‘raja’ yang
mempunyai beberapa hamba. Namun anehnya tokoh ini hanya dimakamkan seorang
diri, tanpa pendamping dari masanya, selain batu nisan ini juga banyak
ditemukan makam kuno lain, namun secara kronologis berasal dari masa yang lebih
kemudian. Sementara nama tokoh ‘Ibnu
Syamsu Syah’ atau ‘anak Syamsu Syah’ mengingatkan pada nama seorang tokoh yang dipahatkan pada
salah satu makam di Makam Mahkota Alam, Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. Di makam
ini terdapat beberapa makam tokoh keluarga Kesultanan Aceh Darussalam dari abad
ke-16 M., salah satu tokoh utama bernama Raja Syamsu Syah bin Munawwar Syah
yang wafat tahun 1530 M. Nama Syamsu Syah juga ditemukan pada makam keluarga
Sultan Aceh Darussalam yang lain dari abad ke-16 M., yaitu Makam Kandang XII.
Di makam ini terdapat makam pendiri Kesultanan Aceh Darussalam dan pemersatu
wilayah yang kemudian hari dikenal sebagai Aceh, yaitu makam Sultan ‘Ali
Mughayah Syah bin Syamsu Syah bin Munawwar Syah yang wafat tahun 1530 M.
Bila benar Tuan Ibnu Syamsu Syah
dari Neusu Aceh sebagai putra Raja Syamsu Syah dan menjadi saudara seayah Sultan
‘Ali Mughayah Syah, maka tokoh ini merupakan salah satu dari keluarga Sultan
Aceh Darussalam dari Dinasti Mahkota Alam (1497 M. hingga 1571/2 M.). jika ini
benar ini sungguh menarik karena dapat memberi gambaran geneologis keluarga
Sultan Aceh dari periode awal yang masih belum terungkap.
Batu nisan makam Tuan Ibnu Syamsu Syah secara morfologis memiliki
rancangan bentuk dan dihias dengan motif yang sangat sederhana, berbeda dengan
makam-makam para pangeran yang berukuran besar dan sangat mencolok. Namun dari
aspek kaligrafi Islam, rancangan khat yang digunakan memiliki kesamaan dengan
periode makam keluarga sultan Aceh, yaitu menggunakan jenis khat Tsulust
ornamental dengan penggayaan (styler)
huruf menjadi tunas-tunas daun dan
bunga.
JENIS BATU NISAN
PLAK PLENG
Jenis batu nisan plakpleng secara
morfologis sangat berbeda dengan batu nisan dari Periode Samudera Pasai dan
Aceh Darussalam. Rancangan bentuknya menyerupai tiang tugu batu yang diukir dan
dipenuhi oleh motif hias yang dipahat dalam dengan tema bunga berukuran besar
seperti teratai biru atau lotus dan
melati atau jasmin. Bentuk dan gaya
kaligrafi Islamnya juga sangat berbeda, menggunakan jenis khat Tsulust-Naskhi
dengan garis vertical yang melebar dengan ujung-ujung terpotong tajam.
Hanya ada tiga batu nisan
plakpleng dari Neusu Aceh. Persebaran batu nisan jenis plakpleng dengan
rancangan bentuk dan gaya motif hias serta gaya dan jenis khat kaligrafi Islam cukup luas di Banda Aceh dan Aceh Besar, seperti Kampung Pande,
Kampung Tibang, Mukim Tanjong-Tungkop, Kampong Ilie di Mukim Ule Kareng, Mukim
Lamrung, dan Mukim Siron. Rancangan bentuk motif dan gaya seni pahat batu nisan
ini sering ditemukan dan secara kronologis yang lebih awal yaitu akhir abad
ke-15 M hingga awal abad ke-16 M.
Jenis batu nisan plakpleng dari
Kampung Pande berasal dari pertengahan akhir abad ke-15 M., yaitu 1460-an M. Guillot
& Kalus yang telah membaca teks epitap berhasil membaca beberapa batu nisan
jenis ini di Kampung Pande, terutama lima batu nisan yang berada di pemakaman
Tuan di Kandang dengan kode TK (Cloude Guillot & Ludvik Kalus, ’Les
Monuments Foneraires
et l’Histoire du Sultanate de Pase a Sumatra’,
Cahierd’ Archipel 37, Paris, 2008, p.326-336). Batu nisan tersebut yaitu,
(i) TK I/03, tahun 849 H. atau 1446 M.; (ii) TK I/04, tahun 865 H. atau 1460
M., (iii) TK I/05, tahun 888 H. atau 1483-1484 M.; (iv) TK I/07, tahun 862 H.
atau 1458 M.; (v) TK I/19, tahun 865 H. atau 1461 M. Periode batu nisan plang
pleng yaitu dari tahun 1446 s/d 1484 M.
Plakpleng dengan teks epitap ‘Kalimah Syahadah’ dari Makam VIII Neusu Aceh
Batu nisan jenis plakpleng dengan teks epitap,
mungkin kalimah syahadah, ditulis secara terbalik. Dari Makam VII Neusu Aceh
Deddy Satria
Arkeolog Independen Aceh
REFERENSI:
·
Achmad
Cholid Sodrie, ‘Nisan-Nisan Samudera Pasai’, Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI,
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1992, p. 53-59.
·
Cloude Guilot dan Ludvik Kalus, ‘Les Monuments Foneraires et
l’Histoire du Sultananate de Pase a Sumatera’, Cahierd’ Archipel 37,
Paris, 2008.
·
David T. Rice, Islamic Art, Thames and Hudson
Limited, London, 1996.
·
Dalu
Lones, ‘The Elements of Decoration: Surface, Pattern dan Light’, Architecture
of the Islamic World, (Edited by George Michell), Thames and Hudson,
London, 1991.
·
Hasan
M. Ambary, L‘art Funeire Musulman en Indonesie des Origines aux XIXa Siecle, Etude
Epigraphique et Typologique, These Pourle Doctorat de Troisieme Cycle,
EHESS, Paris, 1984.
·
Oleg
Graber, The Formation of Islamic Art, New Heaven and London, Yale
University Press, London, 1973.
·
Othman
M. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic in Paninsular Malaysia, Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1988.
·
Othman
M. Yatim dan Abdul Halim Nasir, Epigrafi Islam Terawal di Nusantara,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1990.
·
Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, Thames and Hudson
Limited, London, 1978.
2 comments:
Terima kasih atas informasi tentang Neusu Aceh, sangat bermanfaat.Dimana bisa bertemu dan berdiskusi dengan Sdr Dedy Satria. Wass. T.Reza
Kerjasama antara CISAH & MAPESA amat dibutuhkan demi melanjutkan kajian di bidang sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Islam Samudra Pasai. Bangga menjadi Aceh? tentu!!! :)
Post a Comment