Wednesday, May 5, 2010

Kepahlawanan Perempuan Aceh

‘Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan merekapun melampui kaum lelaki. Bukan sebagai wanita yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka diantara dua serbuan penyergapan.”
(sebuah ungkapan kekaguman HC Zentgraff, seorang kopral marsose veteran Perang Aceh, dalam bukunya ‘De Atjeh’)

Kepahlawanan perempuan Aceh tetap menjadi sisi menarik untuk ditulis. Dizaman kolonial Belanda menguasai nusantara, H C Snouck Hurgronje malah membuat penelitian khusus tentang kehidupan rumah tangga di Aceh. Van Daalen juga melakukan hal yang sama.

Langkah itu kemudian juga diikuti H C Zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang beralih menjadi wartawan perang dengan. Jabatan terakhirnya redaktur di harian Java Bode terbitan Batavia.

Dalam buku “Atjeh” Zentgraaff menyebutkan kematian Tgk Di Barat, salah seorang panglima perang Aceh. Indahnya kematian itu karena perempuan. Kisahnya, sejak tahun 1903, Tgk Di Barat, ulama Aceh Barat muncul secara menonjol dalam perang menentang Belanda.

Belanda memburunya hidup atau mati. Sembilan tahun kemudian, 22 Februari 1912, pasukan marsose pimpinan Letnan Behrens berhasil mengepung dan memberondong pasukan Tgk Di Barat. Pertempuran sengit terjadi.
Lengan kanan Teungku Di Barat tertembus peluru. Dengan serta merta karaben yang tak lagi mungkin dipegangnya, diserahkan kepada istrinya, sementara tangan kirinya mencabut rencong.

Setelah menerima karaben itu, istrinya berdiri di depan untuk melindungi Teungku Di Barat yang luka akibat tembakan. “Demikia, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan seketika. Akhir hayat yang berarti bagi keduanya syahid, yang telah memberikan rasa kebahagiaan, yang tak dapat diduga oleh siapapun betapa besar artinya. Ada beratus-ratus wanita Aceh seperti ini, bahkan boleh jadi ribuan jumlahnya. Dan mereka telah membangkitkan rasa hormat, pun juga pada militer kita,” tulis Zentgraaff.

Ia kemudian melanjutkan. “Beginilah berakhirnya hidup Teungku di Barat dan ulama terkemuka lainnya di Aceh yang lebih suka memilih syahid dari pada mèl (menyerah-red) kepada Belanda,” tulis Zentgraaff.

Di bagian lain bukunya Zentgraaff menulis “Comes ils tombent bien…en is er één volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren nien met diepe vereering zou schrijven in het boek zijner historie?--Dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tinggi di dalam buku sejarahnya?” tanya Zentgraaff

Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita Aceh.

Dalam catatan Van Daalen, menurut Zentgraaff, wanita Aceh juga sering menjadi mata-mata handal untuk para pejuang Aceh. Belanda sendiri sering terjebak. Apalagi ketika beberapa petinggi Belanda dan opsirnya, memakai wanita Aceh untuk mempelajari bahasa dan adat istiadat Aceh, agar mudah menaklukkan dan melakukan diplomasi dengan para pejuang Aceh.

Ada pula beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. “Namun demikian, dalam hubungan bermuka dua seperti itu, wanita Aceh tidaklah luntur sifatnya. Mereka tetap menjalin hubungan-hubungan rahasia yang berakhir dengan pertumpahan darah,” tulis Zentgraaff.

Zentgraaff, mengutip sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberpa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia mengenal betul orang-orang dibelakang rumahnya itu sebagai pemberontak yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.

Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut. Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan.

Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,” ulas Zentgraaff.

Belanda juga mengangkat tabik, kagum terhadap kepahlawanan perempuan Aceh tersebut dalam buku “Gedenboek van het korp Marechausse van Aceh en Onderhoorighheden.” Dalam salah satu bagian buku itu Belanda menulis. ’’De heldhaftigheid van den Atjeher, welke hij gedurende den Atjehoorlog aan den om legde bij den strijd om zijn land te verdedigen, heeft de eebied van de Merechausse’s afgedwongen en tevens hun bewondering voor zijn moed, doodsverachting, zelfopoffering en uithoudingsvermogen---Kepahlawanan orang Aceh yang diperlihatkannya masa perang Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan tanah airnya, telah menimbulkan rasa hormat dan kagum terhadap keberaniannya, sikap tak gentar menghadapi maut, pengorbanan diri dan daya tahannya."